Jumat, 08 Februari 2013

PERUBAHAN KURIKULUM PENDIDIKAN DI INDONESIA

A.     Esensi Perubahan Kurikulum
Dalam perspektif Soetopo dan Soemanto pengertian perubahan kurikulum agak sukar untuk dirumuskan dalam suatu devinisi. Suatu kurikulum disebut mengalami perubahan bila terdapat adanya perbedaan dalam satu atau lebih komponen kurikulum antara dua periode tertentu, yang disebabkan oleh adanya usaha yang disengaja, tentunya menuju movement yang lebih baik.
Berbeda dengan ungkapan Nasution, perubahan kurikulum mengenai tujuan maupun alat-alat atau cara-cara untuk mencapai tujuan itu. Mengubah kurikulum sering berarti turut mengubah manusia, yaitu guru, pembina pendidikan, dan mereka-mereka yang mengasuh pendidikan. Itu sebab perubahan kurikulum dianggap sebagai perubahan sosial, suatu social change. Perubahan kurikulum juga disebut devolupment (pembaharuan) atau inovasi kurikulum.
Mengenai makna perubahan kurikulum, bila kita bicara tentang perubahan kurikulum, kita dapat bertanya dalam arti apa kurikulum digunakan. Kurikulum dapat dipandang sebagai buku atau dokumen yang dijadikan guru sebagai pegangan dalam proses pembelajaran. Kurikulum dapat juga dilihat sebagai produk yaitu apa yang diharapkan dapat dicapai siswa dan sebagai proses untuk mencapainya. Keduanya saling berinteaksi. Kurikulum dapat juga diartikan sebagai sesuatu yang hidup dan berlaku selama jangka waktu tertentu dan perlu di revisi secara berkala agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Selanjutnya kurikulum dapat ditafsirkan sebagai apa yang dalam kenyataan terjadi dengan murid didalam kelas. Kurikulum dalam arti ini tak mungkin direncanakan sepenuhnya betapapun rincinya dirrencanakan, karena dalam interaksi dalam kelas selalu timbul hal-hal yang spontan dan kreatif yang tak dapat diramalkan sebelumnya. Dalam hal ini guru lebih besar kesempatannya menjadi pengembang kurikulum dalam kelasnya. Akhirnya kurikulum dapat dipandang sebagai cetusan jiwa pendidik yang berusaha untuk mewujudkan cita-cita, nilai-nilai yang tertinggi dalam kelakuan anak didiknya. Kurikulum ini sangat erat hubungannya dengan kepribadian guru.
Kurikulum yang formal mengubah pedoman kurikulum, relatif lebih terbatas dari pada kurikulum yang riil. Kurikulum yang riil bukan sekedar buku pedoman, melainkan segala sesuatu yang dialami anak dalam kelas, ruang olahraga, warung sekolah, tempat bermain, karya wisata, dan banyak kegiatan lainnya, pendek kata mengenai seluruh kehidupan anak sepanjang bersekolah. Mengubah kurikulum dalam arti yang luas ini jauh lebih luas dan dengan demikian lebih pelik, sebab menyangkut banyak variabel. Perubahan kurikulum disini berarti mengubah semua yang terlibat didalamnya, yaitu guru sendiri, murid, kepala sekolah, penilik sekolah juga orang tua dan masyarakat umumnya yang berkepentingan dalam pendidikan sekolah. Seperti yang telah penulis paprkn di atas, bahwa perubahan kurikulum adalah perubahan sosial, curriculum change is social change.
  1. Jenis-Jenis Perubahan
Menurut Soetopo dan Soemanto, Perubahan kurikulum dapat bersifat sebagian-sebagian, tapi dapat pula bersifat menyeluruh.
a.       Perubahan sebagian-sebagian
Perubahan yang terjadi hanya pada komponen (unsur) tentu saja dari kurikulum kita sebut perubahan yang sebagian-sebagian. Perubahan dalam metode mengajar saja, perubahan dalam itu saja, atau perubahan dalam sistem penilaian saja, adalah merupakan contoh dari perubahan sebagian-sebagian. Dalam perubahan sebagian-sebagian ini, dapat terjadi bahwa perubahan yang berlangsung pada komponen tertentu sama sekali tidak berpengaruh terhadap komponen yang lain. Sebagai contoh, penambahan satu atau lebih bidang studi kedalam suatu kurikulum dapat saja terjadi tanpa membawa perubahan dalam cara (metode) mengajar atau sistem penilaian dalam kurikulum tersebut.
b.      Perubahan menyeluruh
Disamping secara sebagian-sebagian, perubahan suatu kurikulum dapat saja terjadi secara menyeluruh . Artinya keseluruhan sistem dari kurikulum tersebut mengalami perubahan mana tergambar baik didalam tujuannya, isinya organisasi dan strategi dan pelaksanaannya. Perubahan dari kurikulum 1968 menjadi kurikulum 1975 dan 1976 lebih merupakan perubahan kurikulum secara menyeluruh. Demikian pula kegiatan pengembangan kurikulum sekolah pembangunan mencerminkan pula usaha perubahan kurikulum yang bersifat menyeluruh. Kurikulum 1975 dan 1976 misalnya, pengembangan , tujuan, isi, organisasi dan strategi pelaksanaan yang baru dan dalam banyak hal berbeda dari kurikulum sebelumnya.
2.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Kurikulum
Menurut Soetopo dan Soemanto, ada sejumlah faktor yang dipandang mendorong terjadinya perubahan kurikulum pada berbagai Negara dewasa ini.
a.  Bebasnya sejumlah wilayah tertentu di dunia ini dari kekuasaan kaum kolonialis. Dengan merdekanya Negara-negara tersebut, mereka menyadari bahwa selama ini mereka telah dibina dalam suatu sistem pendidikan yang sudah tidak sesuai lagi dengan cita-cita nasional merdeka. Untuk itu , mereka mulai merencanakan adanya perubahan yang cukup penting di dalam kurikulum dan sistem pendidikan yang ada.
b.      Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat sekali. Di satu pihak, perkembangan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah menghasilkan diketemukannya teori-teori yang lama. Di lain pihak, perkembangan di dalam ilmu pengetahuan psikologi, komunikasi, dan lain-lainnya menimbulkan diketemukannya teori dan cara-cara baru di dalam proses belajar mengajar. Kedua perkembangan di atas, dengan sendirinya mendorong timbulnya perubahan dalam isi maupun strategi pelaksanaan kurikulum.
c.       Pertumbuhan yang pesat dari penduduk dunia. Dengan bertambahnya penduduk, maka makin bertambah pula jumlah orang yang membutuhkan pendidikan. Hal ini menyebabkan bahwa cara atau pendekatan yang telah digunakan selama ini dalam pendidikan perlu ditinjau kembali dan kalau perlu diubah agar dapat memenuhi kebutuhan akan pendidikan yang semakin besar. Ketiga faktor di atas itulah yang secara umum banyak mempengaruhi timbulnya perubahan kurikulum yang kita alami dewasa ini.
3.      Sebab-Sebab Kurikulum Itu Diubah
Kurikulum itu selalu dinamis dan senantiasa dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dalam faktor-faktor yang mendasarinya. Tujuan pendidikan dapat berubah secara fundamental, bila suatu negara beralih dari negara yang dijajah menjadi Negara yang merdeka. Dengan sendirinya kurikulum pun harus mengalami perubahan yang menyeluruh.
Kurikulum juga diubah bila tekanan dalam tujuan mengalami pergeseran. Misalnya pada tahun 30-an sebagai pengaruh golongan progresif di USA tekanan kurikulum adalah pada anak, sehingga kurikulum mengarah kepada child-centered curriculum sebagai reaksi terhadap subject-centered curriculum yang dianggap terlalu bersifat adulatif (pembujukan) dan society-centered.. Pada tahun 40-an, sebagai akibat perang, asas masyarakatlah yang diutamakan dan kurikulum menjadi lebih society-centered.
Kurikulum dapat pula mengalami perubahan bila terdapat pendirian baru mengenai proses belajar, sehingga timbul bentuk-bentuk kurikulum seperti activity atau experience curriculum, programmed instruction, pengajaran modul, dan sebagainya.
Perubahan dalam masyarakat, eksplosi (ledakan) ilmu pengetahuan dan lain-lain mengharuskan adanya perubahan kurikulum. Perubahan-perubahan itu menyebabkan kurikulum yang berlaku tidak lagi relevan, dan ancaman serupa ini akan senantiasa dihadapi oleh setiap kurikulum, betapapun relevannya pada suatu saat.
4.      Kesulitan-Kesulitan Dalam Perubahan Kurikulum
Sejarah menunjukkan bahwa sekolah itu sangat sukar menerima pembaharuan. Ide yang baru tentang pendidikan memerlukan waktu sekitar 75 tahun sebelum dipraktikan secara umum di sekolah-sekolah.
Manusia itu pada umumnya bersifat konservatif (tertutup) dan guru termasuk golongan itu juga. Guru-guru lebih senang mengikuti jejak-jejak yang lama secara rutin. Ada kalanya karena cara yang demikianlah yang paling mudah dilakukan. Mengadakan pembaharuan memerlukan pemikiran dan tenaga yang lebih banyak. Tak semua orang suka bekerja lebih banyak daripada yang diperlukan. Akan tetapi ada pula kalanya, bahwa guru-guru tidak mendapat kesempatan atau wewenang untuk mengadakan perubahan karena peraturan-peraturan administratif. Guru itu hanya diharapkan mengikuti instruksi atasan.
Pembaharuan kurikulum kadang-kadang terikat pada tokoh yang mencetuskannya. Dengan meninggalnya tokoh itu lenyap pula pembaharuan yang telah dimulainya itu. Dalam pembaharuan kurikulum ternyata bahwa mencetuskan ide-ide baru lebih “mudah” daripada menerapkannya dalam praktik. Dan sekalipun telah dilaksanakan sebagai percobaan, masih banyak mengalami rintangan dalam penyebarluasannya, oleh sebab harus melibatkan banyak orang dan mungkin memerlukan perubahan struktur organisasi dan administrasi sistem pendidikan.
Disadari atau tidak pembaharuan kurikulum pastinya memerlukan biaya yang lebih banyak untuk fasilitas dan alat-alat pendidikan baru, yang tidak selalu dapat dipenuhi. Tak jarang pula pembaharuan ditentang oleh mereka yang ingin berpegang pada yang sudah lazim dilakukan atau yang kurang percaya akan yang baru sebelum terbukti kelebihannya. Bersifat kritis terhadap pembaharuan kurikulum adalah sifat yang sehat, karena pembaharuan itu jangan hanya sekedar mode yang timbul pada suatu saat untuk lenyap lagi dalam waktu yang tidak lama.

B.     Analisis Perubahan Kurikulum dari Tahun 1968-2006
Perkembangan Kurikulum di Indonesia
NO
TAHUN
FOKUS ORIENTASI
1
1968
Subject Matter (Mata Pelajaran)
2
1975
Terminal Objectives (Tiu, Tik)
3
1984
Keterampilan Proses (CBSA Project)
4
1994
Munculnya Pembagian Kamar Antara Kurikulum Nasional Dengan Kurikulum Muatan Local
5
2004
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
6
2006
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Penekanan dalam Kurikulum 1968, pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik.
Sebagai pengganti kurikulum 1968 adalah kurikulum 1975.  Dalam kurikulum ini menggunakan pendekatan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), mengarah kepada tercapainya tujuan spesifik, yang dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa. Dalam pelaksanaannya banyak menganut psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill).
Kurikulum 1984 berorientasi kepada tujuan instruksional, didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa. Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor
Materi pelajaran dikemas dengan menggunakan pendekatan spiral yakni pendekatan yang digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran. Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin dalam dan luas materi pelajaran yang diberikan.
Ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya adalah pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem caturwulan Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi). Dalam pelaksanaan kegiatan, guru harus memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Untuk mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen dan penyelidikan. Dan dalam pengajaran suatu mata pelajaran harus menyesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
Kurikukum yang dikembangkan pada tahun 2004 diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standard performan yang telah ditetapkan. Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu KBK sebagai pedoman pembelajaran.
Selanjutnya pada tahun 2006, dikembangkannya kurikulum KTSP. KTSP adalah suatu ide tentang pengembangan kurikulum yang diletakan pada posisi yang paling dekat dengan pembelajaran yakni sekolah dan satuan pendidikan. KTSP merupakan paradigma baru pengembangan kurikulum, yang memberikan otonomi luas pada setiap satuan pendidikan, dan pelibatan masyarakat dalam rangka mengefektifkan proses belajar mengajar di sekolah. Otonomi diberikan agar setiap satuan pendidikan dan sekolah memiliki keleluasaan dalam mengelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.

C.     Ironi Kurikulum Pendidikan di Indonesia
Berlakunya kurikulum 2006 yang dituangkan dalam paket kebijakan yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22, 23 dan 24 merupakan kemajuan yang patut untuk disikapi secara posistif oleh semua pihak pemangku pendidikan, kebijakan ini merupakan kebijakan yang dapat dipandang sebagai membagi peran antara pemerintah dengan satuan pendidikan atau guru dalam bidang penyususnan kurikulum. Ada beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan dasar dan alasan mengapa KTSP diimplementasikan dalam pendidikan nasional. Berikut dijabarkan beberapa alasan :
1.      Dalam kaitannya dengan keanekaragaman budaya, adat, sosial, sumber daya dan tradisi, tidak dipungkiri lagi bahwa Indonesia memiliki semuanya. KTSP hadir sebagai sebuah langkah persiapan untuk mengoptimalkan seluruh keanekaragaman itu. Dengan sistem desentralisasi pendidikan, sebuah institusi pendidikan diharapkan mampu mengoptimalkan dan melestarikan keanekaragaman yang dimiliki oleh daerahnya masing-masing.
2.      Dalam setiap institusi pendidikan, permasalahan yang dihadapi tidak hanya satu. Masalah yang ada di institusi pendidikan yang satu belum tentu terjadi di institusi pendidikan lainnya. KTSP, yang penyusunannya langsung dilakukan oleh pihak satuan pendidikan, diharapkan mampu menjadi sebuah pemecahan masalah yang ada di satuan pendidikan itu sendiri. Karena yang paling mengenal sebuah institusi pendidikan adalah institusi itu sendiri, dalam hal ini seluruh tenaga pendidik dan kependidikan di institusi tersebut.
3.      Memberikan kesempatan kepada seluruh unsur pendidikan, yaitu sekolah, keluarga dan masyarakat untuk berperan aktif dalam memajukan suatu institusi pendidikan. Peran komite sekolah, yang terdiri dari perwakilan orang tua dan tokoh masyarakat setempat, diharapkan mampu memberikan kontribusi ide dan saran yang nantinya akan dijadikan sebagai sebuah pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi dan memenuhi kebutuhan daerahnya masing-masing.

Sementara itu, yang pesimistis dengan kurikulum mutahir mengolok-olok KTSP sebagai (K)urikulum (T)idak (S)iap (P)akai karena lahir terlalu premature (sebelum waktunya). Sumber kelemahannya bukan berada di mana-mana, melainkan ada pada guru sendiri. Seberapa banyak guru yang kreatif dan siap dalam spirit perubahan zaman yang disyaratkan KTSP? Selain persoalan guru, prasyarat lain seperti gedung dan komitmen pemerintah juga akan menjadi kendala yang serius. Kita khawatir kurikulum baru di tahun 2013 pun akan sama nasibnya dengan kurikulum-kurikulum lainnya.
Tak dapat dipungkiri, pendidikan yang baik adalah investasi yang tak ternilai untuk kemajuan bangsa. Maka, untuk menstandarkan materi-materi pendidikan yang diberikan dalam sekolah, disusunlah kurikulum oleh pemerintah sebagai pedoman sistematis yang wajib dilaksanakan bagi institusi-institusi pendidikan di Indonesia dalam materi pelajaran. Dengan begitu banyak poin penting yang diatur dalam kurikulum, penyusunan kurikulum yang tepat sangatlah krusial untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Namun, di saat zaman reformasi ini, kurikulum yang dikeluarkan pemerintah senantiasa berubah secepat seseorang bosan dengan mainannya. Bahkan, dapat terlihat bahwa setiap kali berganti menteri pendidikan maka hampir dapat dipastikan kurikulum juga akan diubah. Kalau diistilahkan “ganti menteri ganti kurikulum”. Mungkin hanya ada perubahan sedikit didalamnya, namun dengan adanya menteri baru inginnya melakukan perubahan,  sayang sekali yang dirubah hanya nama, tidak lebih dari sekedar formalitas.  Apakah sering berganti-ganti kurikulum itu baik? Tergantung. Sebetulnya apabila kurikulum baru memang lebih efektif dan cocok dengan realita di lapangan, maka itu baik. Tapi, apa bila kurikulum itu tidak efektif dan sulit direalisasikan dengan sempurna, maka yang terjadi adalah kebingungan dan miskonsepsi (kesalahpahaman). Bila hal itu terjadi, maka yang paling menjadi korban adalah siswa, korban dari proyek Mendiknas dan menteri baru yang ingin “tampil beda”.
Hal ini sangat ironi dalam dunia pendidikan Indonesia, jika hal ini diteruskan lambat laun banyak penyelenggara pendidikan non-pemerintah yang bersaing dengan sekolah naungan pemerintah atau negeri. Kadang kala kita jumpai bahwa kurikulum yang diberikan sekolah swasta cenderung lebih baik ketimbang kurikulum dari pemerintah. Keplin-planan pemerintah menggonta-ganti kurikulum pendidikan sebenarnya tidak masalah, yang dipermasalahkan hanya kualitas kurikulum tersebut apakah mampu meningkatkan kualitas pembelajaran ataukah hanya akan membuat kebingungan para siswa karena selalu berubah-ubah tiap tahunnya.

Evaluasi Penerapan KTSP
Setiap kurikulum yang diberlakukan di Indonesia memiliki kelebihan masing-masing tergantung pada situasi dan kondisi pada saat kurikulum diberlakukan. Kelebihan-kelebihan KTSP ini antara lain :
a. Dengan KTSP, sekolah mendapatkan otonomi dalam pelaksanaan pendidikan, yang mana hal ini berbeda dengan kurikulum-kurikulum sebelumya, yang menyama ratakan semua sekolah dengan kurikulum yang sama tanpa melihat kondisi dan situasi lingkungan sekolah yang bersangkutan. Dengan otonomi itu, sekolah bersama dengan komite sekolah dapat secara bersama-sama merumuskan kurikulum sesuai dengan kebutuhan situasi dan kondisi lingkungan.
b. Dengan KTSP, sekolah mendapat kebebasan untuk merancang, mengembangkan, dan mengimplementasikan kurikulum sekolah sesuai dengan situasi, kondisi dan potensi keunggulan lokal yang bisa dimunculkan oleh sekolah.
c.    Dalam KTSP, sekolah diberi kebebasan dalam mengembangkan mata pelajaran tertentu sesuai dengan kebutuhan siswa serta sesuai dengan potensi di daerah tersebut.
d. Dengan KTSP, beban belajar siswa berkurang karena KTSP lebih sederhana. Tetapi tetap memberikan tekanan bagi perkembangan siswa. Karena beberapa kurikulum sebelumnya kebanyakan memasukan alokasi jam pelajaran yang cukup lama, sehingga siswa jenuh dan itu mengakibatkan siswa tidak fokus terhadap pelajarannya, namun dalam KTSP, alokasi waktu mengalami pengurangan.
Dari semua aspek yang telah dipaparkan, KTSP terkesan merupakan kurikulum yang sangat tepat untuk diterapkan di Indonesia. Namun dalam tahap pengimplementasiannya, KTSP masih sangat jauh dari konsep yang ada. Berdasarkan data yang ada, berikut beberapa masalah dalam implementasi KTSP :
a.   Standarisasi yang masih diterapkan oleh pemerintah yaitu berupa Ujian Nasional (UN). Jika KTSP dibuat dan dirancang sedemikian rupa oleh satuan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nyata yang ada, mengapa pemerintah harus repot-repot mengadakan UN? Prinsip diversifikasi yang diterapkan dalam KTSP secara jelas mencantumkan bahwa tiap satuan pendidikan itu memiliki perbedaan. Pemerintah tidak bisa seenaknya “memukul rata” seluruh sekolah di Indonesia untuk siap mengikuti Ujian Nasional.
b.   Kualitas tenaga pendidik yang masih sangat kurang dalam mengakomodir tugas KTSP secara keseluruhan. Seperti yang telah dijelaskan diatas, dalam KTSP, tenaga pendidik menjadi perancang, pelaksana dan pengevaluasi kurikulum yang ada di sekolah tersebut. Oleh sebab itu, kompetensi yang dimiliki haruslah mampu mengakomodir seluruh tugas tersebut. Faktanya, pelaksanaan Pendidikan Guru serta sertifikasi yang diadakan masih belum mampu membekali guru untuk dapat merancang sebuah kurikulum pembelajaran yang memenuhi tujuan keseluruhan dari KTSP.
c.    Sosialisasi yang dilakukan pemerintah masih belum sempurna seluruhnya. Dalam sebuah Stadium General, Prof. Dr. Tilaar pernah mengatakan bahwa hampir ratusan guru di Sumatera Utara yang hadir saat seminar yang diisi oleh beliau mengatakan bahwa mereka tidak mengerti bagaimana KTSP harus dirancang. Yang mereka tahu adalah bagaimana mempersiapkan murid agar lulus ujian nasional. Sungguh sebuah ironi, mengingat bahwa seharusnya KTSP dirancang dan dikembangkan oleh guru, namun guru itu sendiri belum memahami sepenuhnya apa itu KTSP.
Kesempurnaan konsep yang ada pada KTSP menjadi tidak berarti ketika pelaksanaannya masih jauh dari angan. Kekurangan dan kelemahan yang ada pada implementasi KTSP tentunya membutuhkan tindak lanjut dan langkah perbaikan yang harus dilakukan.
Solusi dari Lemahnya Penerapan KTSP
Pada dasarnya, permasalahan implementasi KTSP yang ada di Indonesia perlu diperbaiki, bukan langsung diubah. Untuk itu, kami merumuskan solusi untuk setiap permasalahan yang ada. Berikut dipaparkan solusi-solusinya:
a.    Untuk permasalahan standarisasi secara nasional dengan diadakannya UN, solusi yang kami ajukan adalah penghapusan UN. Alasannya, ketika satuan pendidikan telah merancang dan melaksanakan KTSP serta menentukan standar-standar kelulusan yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan satuan pendidikan dan potensi daerahnya masing-masing, seharusnya untuk masalah sistem evaluasi yang ditujukan sebagai standar kelulusan dilaksanakan oleh satuan pendidikan itu juga. Jadi UN hanya sebagai tolak ukur pemerataan pendidikan di Indonesia, bukan sebagai standar kelulusan nasional.
b.   Permasalahan kualitas guru, tentunya ini harus diselesaikan dengan cara peningkatan kualitas guru. Paling tidak, seorang guru harus paham apa Itu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Ada dua cara yang kami sarankan. Pertama pelatihan-pelatihan untuk para guru, seperti workshop, seminar, PLPG, Portofolio, dan lain sebagainya. Kedua, membekali para calon guru ketika masih dalam tahapan belajar di bangku kuliah. Ada baiknya para calon guru di bangku kuliah dibekali pengetahuan tentang kurikulum dan pengelolaan sekolah sebelum mereka terjun langsung pada dunia pendidikan.
c.    Problematika terakhir adalah sosialisasi, tetap dilakukan sosialisasi ke seluruh Indonesia. Dengan mengubah konsep sosialisasi yang kebanyakan sudah dijalankan. Kenapa? Karena kebanyakan sosialisasi yang dilakukan terlihat “monoton” dengan hanya memberikan konsep-konsep saja yang mungkin bagi kebanyakan guru membosankan dan dalam waktu 3 hari saja timbul istilah “masuk telinga kiri keluar telinga kanan”. Masukkan cara-cara praktis dan contoh langsung ke lapangan mungkin salah satunya dengan simulasi di dalam kelas. Lalu setelah itu, sosialisasi tidak hanya dilakukan dengan face to face saja tetapi beri juga ruang bagi para pendidik untuk mengeluarkan uneg-unegnya di “dunia maya” dengan mengadakan forum atau apapun itu karena dari saran dan kritik mereka jugalah kita dapat mengetahui apa yang perlu dibenahi dalam kurikulum.
Pada dasarnya, ketika menemukan sebuah permasalah dalam hal apapun, sebaiknya diperbaiki, bukan diubah. Demikian seberkas pengajuan saran untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam persoalan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.