A.
Bahasa
Diantara bahasa-bahasa daerah yang
terdapat di provinsi NAD, bahasa Aceh merupakan bahasa daerah terbesar dan yang
paling banyak penuturnya, yakni sekitar 70 % dari total penduduk provinsi NAD.
Penutur bahasa Aceh tersebar di wilayah pantai Timur dan Barat provinsi NAD.
Penutur asli bahasa Aceh adalah mereka yang mendiami kabupaten Aceh Besar, kota
Banda Aceh, kabupaten Pidie, kabupaten Aceh Jeumpa, kabupaten Aceh Utara,
kabupaten Aceh Timur, kabupaten Aceh Barat dan kota Sabang. Penutur bahasa Aceh
juga terdapat di beberapa wilayah dalam kabupaten Aceh Selatan, terutama di
wilayah Kuala Batee, Blang Pidie, Manggeng, Sawang, Tangan-Tangan, Meukek,
Trumon dan Bakongan.
Bahkan di kabupaten Aceh Tengah,
Aceh Tenggara dan Simeulue, kita dapati juga sebahagian kecil masyarakatnya
yang berbahasa Aceh. Selain itu, di luar provinsi NAD, yaitu di daerah-daerah
perantauan, masih ada juga kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang tetap
mempertahankan bahasa Aceh sebagai bahasa ibu mereka. Hal ini dapat kita jumpai
pada komunitas masyarakat Aceh di Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur di
Malaysia serta Sydney di Australia. Selain Bahasa Aceh ada juga Bahasa yang
lain seperti Bahasa Gayo, Bahasa Alas, Bahasa Tamiang, Bahasa Aneuk Jamee,
Bahasa Kluet, Bahasa Singkil, Bahasa Haloban, dan Bahasa Simeulue.
B.
Sistem
Religi
Aceh termasuk salah satu daerah yang
paling awal menerima agama Islam. Oleh sebab itu propinsi ini dikenal dengan
sebutan "Serambi Mekah", maksudnya "pintu gerbang" yang
paling dekat antara Indonesia dengan tempat dari mana agama tersebut berasal.
Meskipun demikian kebudayaan asli Aceh tidak hilang begitu saja, sebaliknya
beberapa unsur kebudayaan setempat mendapat pengaruh dan berbaur dengan
kebudayaan Islam. Dengan demikian kebudayaan hasil akulturasi tersebut
melahirkan corak kebudayaan Islam-Aceh yang khas. Di dalam kebudayaan tersebut
masih terdapat sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme.
C.
Sistem
Mata Pencaharian
Setiap orang yang hidup memerlukan
makanan untuk menyambung hidupnya. Dalam suku Aceh, untuk mendapatkan makanan
sebagian besar dari mereka bekerja sebagai petani dan beternak. Namun,
masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai pada umumnya menjadi nelayan, dan
tidak sedikit juga yang berdagang.
Mata pencaharian pokok suku aceh
adalah bertani di sawah dan ladang dengan tanaman pokok berupa padi, cengkeh,
lada, pala, kelapa dan lain-lain. Disamping bertani, masyarakat suku aceh juga
ada yang beternak kuda, kerbau, sapi dan kambing yang kemudian untuk
dipekerjakan di sawah atau di jual.
Untuk masyarakat yang hidup di
sepanjang pantai, umumnya mereka menjadi nelayan dengan mencari ikan yang
kemudian untuk menu utama makanan sehari-hari atau dijual ke pasar. Bagi
masyarakat yang berdagang, mereka melakukan kegiatan berdagang secara tetap
(baniago), salah satunya dengan menjajakan barang dagangannya dari kampung ke
kampung.
D.
Organisasi
Sosial
1. Sistem
Kekerabatan
Dalam sistem kekerabatan, bentuk kekerabatan yang
terpenting adalah keluarga inti dengan prinsip keturunan bilateral. Adat
menetap sesudah menikah bersifat matrilokal, yaitu tinggal di rumah orangtua
istri selama beberapa waktu. Sedangkan anak merupakan tanggung jawab ayah
sepenuhnya.
Dalam sistem kekerabatan tampaknya terdapat kombinasi
antara budaya Minangkabau dan Aceh. Garis keturunan diperhitungkan berdasarkan
prinsip bilateral, sedangkan adat menetap sesudah nikah adalah uxorilikal
(tinggal dalam lingkungan keluarga pihak wanita). Kerabat pihak ayah mempunyai kedudukan yang kuat dalam hal
pewarisan dan perwalian, sedangkan ninik mamak berasal dari kerabat pihak ibu.
Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang disebut rumah
tangga. Ayah berperan sebagai kepala keluarga yang mempunyai kewajiban memenuhi
kebutuhan keluarganya. Tanggung jawab seorang ibu yang utama adalah mengasuh
anak dan mengatur rumah tangga.
Pada orang Alas garis keturunan ditarik berdasarkan
prinsip patrilineal atau menurut garis keturunan laki-laki. Sistem perkawinan
yang berlaku adalah eksogami merge, yaitu mencari jodoh dari luar merge
sendiri. Adat menetap sesudah menikah yang berlaku bersifat virilokal, yang
terpusat di kediaman keluarga pihak laki-laki. Gabungan dari beberapa keluarga
luas disebut tumpuk. Kemudian beberapa tumpuk bergabung membentuk suatu
federasi adat yang disebut belah (paroh masyarakat).
Pada masyarakat gayo, garis keturunan ditarik
berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan
tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang
patrilokal (juelen) atau matriokal (angkap). Kelompok kekerabatan terkecil
disebut saraine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara
dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah
panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke
dalam satu belah (klen).
Dalam sistem kekerabatan masyarakat Tamiang digunakan
prinsip patrilineal, yaitu menarik garis keturunan berdasarkan garislaki-laki.
Adat menetap sesudah nikah yang umum dilakukan adalah adat matrilokal, yaitu
bertempat tinggal di lingkungan kerabat wanita.
2. Sistem
Pelapisan Sosial
Pada masa lalu masyarakat Aceh mengenal beberapa
lapisan sosial. Di antaranya ada empat golongan masyarakat, yaitu golongan
Keluarga Sultan, Golongan Uleebalang, Golongan Ulama, dan Golongan Rakyat Biasa.
Golongan keluarga sultan merupakan keturunan bekas sultan-sultan yang pernah
berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah ampon untuk
laki-laki, dan cut untuk perempuan. Golongan uleebalang adalah orang-orang
keturunan bawahan para sultan yang menguasai daerah-daerah kecil di bawah kerajaan.
Biasanya mereka bergelar Teuku. Sedangkan para ulama atau pemuka agama lazim
disebut Teungku atau Tengku.
Pada masa masyarakat Tamiang dikenal penggolongan
masyarakat atas tiga lapisan sosial, yakni ughang bangsawan, ughang patoot, dan
ughang bepake. Golongan pertama terdiri atas raja beserta keturunannya. yang
menggunakan gelar Tengku untuk laki-laki dan Wan untuk perempuan; golongan
kedua adalah orangΓorang yang memperoleh hak dan kekuasaan tertentu dari raja,
yang memperoleh gelar Orang (Kaya); dan golongan ketiga merupakan golongan
orang kebanyakan.
3. Sistem
Kemasyarakatan
Bentuk kesatuan hidup setempat yang
terkecil disebut gampong (kampung atau desa) yang dikepalai oleh seorang geucik
atau kecik. Dalam setiap gampong ada sebuah meunasah (madrasah) yang dipimpin
seorang imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang
dipimpin oleh seorang uleebalang, yaitu para panglima yang berjasa kepada
sultan. Kehidupan sosial dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh
pemuka-pemuka adat dan agama, seperti imeum meunasah, teungku khatib, tengku
bile, dan tuha peut (penasehat adat).
E.
Sistem
Pengetahuan
Suku Aceh memiliki sistem
pengetahuan yang mencangkup tentang fauna, flora, bagian tubuh manusia, gejala
alam, dan waktu. Mereka mengetahui dan memiliki pengetahuan itu dari dukun dan
orang tua adat.
Pengetahuan yang terdapat dalam suku
aceh, yaitu tentang tradisi bahasa tulisan yang ditulis dalam huruf Arab-Melayu
yang disebut bahasa Jawi atau Jawoe, Bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab
ejaan Melayu (gambar terlampir). Pada masa Kerajaan Aceh banyak kitab ilmu
pengetahuan agama, pendidikan, dan kesusasteraan ditulis dalam bahasa Jawi.
Pada makam-makam raja Aceh terdapat juga huruf Jawi. Huruf ini dikenal setelah
datangnya Islam di Aceh. Banyak orang-orang tua Aceh yang masih bisa membaca
huruf Jawi.
F.
Sistem
Tekhnologi dan Peralatan Hidup
1. Persenjataan
Orang Aceh terkenal sebagai
prajuri-prajurit tangguh penentang penjajah, dengan bersenjatakan rencong,
ruduh (kelewang), keumeurah paneuk (bedil berlaras pendek), peudang (pedang),
dan tameung (tameng). Senjata-senjata tersebut umumnya dibuat sendiri.
G.
Kesenian
1. Seni Lukis : Kaligrafi Arab
Seni
kaligrafi Arab merupikan salah satu kesenian yang ada dalam suku aceh. Melukis
kaligrafi ini biasanya dilukis di atas kanvas yang bertujuan sebagai hiasan
dinding di dalam rumah atau mesjid dengan melukiskan Asmaul Husna dan
sebagainya. Kesenian ini banyak terlihat pada berbagai ukiran mesjid, rumah
adat, alat upacara, perhiasan, dan sebagainya.
2. Seni Pahat : Memahat Rumah Adat dan
Nisan
Seni pahat
yang ada pada suku aceh adalah memahat hiasan pada rumah adat atau nisan. Seni
pahat yang diaplikasikan pada rumah adat menunjukkan kepemilikan dan status
sosial pemiliknya. Sedangkan seni pahat yang diaplikasikan pada nisan
menunjukkan status sosial yang dikuburkan, dan juga memberikan informasi nama
dan tahun serta tanggal wafat dari tokoh yang dikuburkan.
3. Seni Musik : Rapai Geleng
Rapai
geleng merupakan seni musik yang dilakukan oleh tiga belas laki-laki/perempuan
yang duduk berbanjar, seperti duduk diantara dua sujud ketika melaksanakan
shalat. Masing-masing memegang alat tabuh sambil bernyanyi bersama. Antara
musik dan gerak yang dimainkan bersenyawa. Awalnya lambat, sedang, setelah
beberapa detik berubah cepat diiringi dengan gerakan kepala yang digelengkan ke
kiri dan kekanan. Mereka menepuk-nepuk tangan dan dada, juga menepuk tangan dan
paha. Ada yang bertindak sebagai pemain biasa, syech dan aneuk dhiek.
4. Seni Tari : Tari Saman
Tarian ini merupakan salah satu
media untuk pencapaian dakwah. Tarian ini mencerminkan pendidikan, keagamaan,
sopan santun, kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan. dilakukan dalam posisi
duduk berbanjar dengan irama dan gerak yang dinamis. Suatu tari dengan syair
penuh ajaran kebajikan, terutama ajaran agama Islam.
Terimakasih Ka..
BalasHapussangat membantu dan kumplit :)
sama tenan sama tugas ku
BalasHapusMakakasih ya ilmunya ..
BalasHapusMakasih banyak, saya sangat terbantu dengan artikel ini
BalasHapusMakasih banyak ya min
BalasHapusSangat membantu dan lengkap
niceee artikel di penghujung tahunnnnπππππππ
BalasHapus