A.
Auguste Comte dan Pitirim Sorokin Serta Masalah Kemajuan Budaya
Semua ahli ilmu sosial sependapat
bahwa kiranya tidak mungkin untuk memiliki suatu struktur sosial tanpa suatu
tipe kebudayaan (setidaknya seperangkat symbol untuk berkomunikasi), tetapi
tidak semua sependapat mengenai pengaruh yang mungkin ada pada nilai-nilai
budaya serta ideal-idealnya dalam menentukan sifat struktur sosial itu. Berikut
kita akan memperlihatkan konflik itu. Tetapi disini kita akan melihat dengan
saksama ide-ide Teori Auguste Comte yang dasar, yang dilihat oleh banyak orang
sebagai “Bapak Sosiologi”, yang percaya bahwa sifat dasar suatu organisasi sosial
suatu masyarakat sangat tergantung pada pola-polaberpikir yang dominan serta
gaya intelektual masyarakat itu. Dalam perspektif Comte, struktur sosial sangat
mencerminkan epistemology yang dominan. Sejalan dengan posisi ini, Comte juga
percaya bahwa begitu intelek kita bertumbuh dan pengetahuan kita bertambah,
masyarakat itu sendiri maju.
1. Riwayat hidup Comte
Auguste Comte lahir di Montpellier,
Prancis, tahun 1798. Keluarganya beragama Katolik dan berdarah bangsawan,
tetapi Comte tidak memperlihatkan loyalitasnya. Dia mendapat pendidikan di
Ecole Polytechnique di Paris dan lama hidup di sana, Comte seorang mahasiswa
yang keras kepala dan suka memberontak dalam mendukung Napoleon dipecat.
Comte memulai karier profesionalnya
dengan member les dalam bidang matematika. Meskipun ia sudah memperoleh
pendidikan dalam matematika, perhatiannya yang sebenarnya adalah pada
masalah-masalah kemanusiaan dan sosial. Minat ini mulai berkembang di bawah
pengaruh Saint Simon, yang mempekerjakan Comte sebagai sekretarisnya dan
dengannya Comte menjalin kerjasama erat dalam mengembangkan karya awalnya
sendiri. Kepribadian dua orang ini saling melengkapi, Saint Simon seorang yang
aktif, tekun, bersemangat dan tidak disiplin, sedangkan Comte seorang yang
metodis, disiplin dan refleksif. Tetapi setelah tujuh tahun, pasangan ini pecah
karena perdebatan mengenai kepengarangan karya bersama, dan Comte lalu menolak
pemmbimbingnya ini.
Kondisi ekonomi Comte juga pas-pasan
saja, dan hamper terus menerus hidup miskin. Dia tidak pernah menjamin posisi
professional yang dibayar dengan semestinya dalam system pendidikan tinggi
Prancis. Banyak karirnya berupa memberikan les-les privat, menyajikan ide-ide
teoritisnya dalam suatu kursus privat yang dibayar oleh peserta-peserta dan
menjadi penguji akademi kecil. Di akhir hayatnya, dia hidup dari pemberian
orang-orang yang mengaguminya dan pengikut-pengikut agama Humanitasnya.
2. Perspektif
Positivistis Comte Tentang Masyarakat
Meskipun Comte yang memberikan
istilah “Positivisme”, gagasan yang terkandung dalam kata itu bukan dari dia
asalnya. Kaum Positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan
bahwa mwtode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya,
sudah tersebar luas di lingkungan intelektual dimana Comte hidup. Tetapi sementara
kebanyakan kelompok positivistis berasal dari kalangan orang-orang yang
progresif, yang bertekad mencampakkan tradisi-tradisi irasional. Comte percaya
bahwa penemuan hukum-hukum alam itu akan membukakan batas-batas yang pasti yang
melekat dalam kenyataan sosial, dan melampaui batas-batas itu usaha pembaruan
akan merusakkan dan menghasilkan yang sebaliknya.
Comte melihat perkembangan ilmu
tentang masyarakat yang bersifat alamiah ini sebagai puncak suatu proses
kemajuan intelektual yang logis melalui semua ilmu-ilmu lainnya sudah
melewatinya. Kemajuan ini mencakup perkembangan mulai dari bentuk-bentuk
pemikiran teologis purba, penjelasan metefisik, dan akhirnya sampia ke terbentuknya
hukum-hukum ilkiah yang posituv. Bidang sosiologi adalah paling akhir
melewati tahap-tahap ini, karena pokok
permasalahannya lebih kompleks daripada yang terdapat dalam ilmu fisika dan
biologi.
a. Hukum Tiga Tahap
Hukum
tiga tahap merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan Evolusioner umat
manusia dari masa primitive ke peradaban Prancis abad kesembilan belas yang
sangat maju. Hukum ini, yang mungkin paling terkenal dari gagasan-gagasan
teoritis pokok Comte, tidak lagi di terima sebagai suatu penjelasan mengenai
perubahan sejarah secara memadai. Juga terlalu luas dan umum sehingga tidak
dapat benar-benar tunduk pada pengujian empiris secara teliti, yang menurut
Comte harus ada untuk membentuk hukum-hukum Sosiologi.
Singkatnya,
hukum itu menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat (atau umat manusia) berkembang
melelui tiga tahap utama, yaitu :
1. Tahap Theologis, merupakan
periode yang paling lama dalam sejarah manusia dan untuk analisa yang lebih
terperinci, Comte membaginya ke dalam periode Fetisisme, Politeisme, dan
Monoteisme. Fetisisme, bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitive,
meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya
sendiri. Akhirnya Fetisisme ini diganti dengan kepercayaan akan sejumlah hal-hal
supranatural yang meskipun berbeda dari benda-benda alam, namun terus
mengontrol gejala alam. Begitu pikiran manusia terus maju, kepercayaan akan
banyak dewa itu diganti dengan kepercayaan akan satu yang tertinggi.
Katolisisme di abad pertengahan memperlihatkan puncak tahap monoteisme.
2. Tahap Metafisik, terutama
merupakan tahap transisi antara tahap Teologis dan positif. Tahap ini ditandai
oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan
dengan akal budi. Protestantisme dan Deisme memperlihatkan penyesuaian yang
berturut-turut dari semngat Teologis ke munculnya semangat Metafisik yang
mantap.
3. Tahap Positif ditandai oleh
kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Tetapi
pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak. Semangat Positivisme
mempelihatkan suatu keterbukaan terus-menerus terhadap data baru atas dasar
mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas. Akal budi penting,
seperti dalam periode Metafisik, tetapi harus dipimpin oleh data empiris.
Analisa rasional mengenai data empiris akhirnya akan memungkinkan manusia untuk
memperoleh hukum0hukum, tetapi hukum-hukum dilihat sebagai uniformitas empiris
lebih daripada kemutlakan Metafisik.
b. Agama Humanitas
Wawasan
Comte terhadap konsekuensi-konsekuensi Agama yang menguntungkan dan ramalannya
mengenai tahap positif Postreligius dalam evolusi manusia menghadapkan dia pada
maslah rumit. Tidak seperti pemikir-pemikir radikal dan revolusioner pada
masanya, Comte menekankan perhatiannya pada keteraturan sosial. Dia khawatir
bahwa anarki intelektual dan sosial di zamannya akan menghancurkan basis untuk
kemajuan yang mantap. Begitu dia melihat Sejarah, dia mengakui bahwa agama di
masa lampau sudah menjadi satu tunggak keteraturan sosial yang utama. Agama
merupakan dasar untuk “Konsensus Universal” dalam masyarakat, dan juga
mendorong identifikasi emosional individu
dan meningkatkan altruisme. Tetapi jika dilihat dalam perspektif ilmiah,
agama didasarkan pada kekeliruan intelektual asasi yang mula-mula sudah
berkembang di saat-saat awal perkembangan intelektual manusia.
Dengan
agak sederhana, Comte mengemukakan gagasan untuk mengatasi masalah ini dalam
tahap kedua dari karirnya, dengan mendirikan suatu agama baru, yaitu Agama
Humanitas dan mengangkat dirinya sebagai imam agung. Ini aspek kedua dari
perhatian Comte mengenai keteraturan sosial. Aspek pertama meliputi suatu
analisa obyektif mengenai sumber-sumber stabilitas dalam masyarakat. Sedangkan
aspek kedua meliputi usaha meningkatkan keteraturan sosial dengan agama
Humanitas sebagai cita-cita normatifnya.
3.
Teori Kemajuan Menurut Comte dan Teori
Siklus Perubahan Budaya Menurut Sorokin
Kepercayaan Comte bahwa perkembangan
Positivisme akan mengakibatkan kemajuan yang terus menerus, adalah pasti.
Teorinya mengandung implikasi bahwa sejarah bergerak ke tujuan akhir, dan bahwa
tahap-tahap sejarah sebelumnya penting, terutama karena sumbangannya terhadap
tujuan akhir ini. Tahap terakhir akan merupakan suatu masyarakat dimana
bimbingan intelektual dan moral yan diberikan oleh imam-imam Sosiologi akan
memungkinkan pemompin-pemimpin politik untuk menentukan kebijaksanaan yang menjamin bahwa orang akan hidup secara
harmonis dan dimana industriawan yang berperikemanusiaan akan menyediakan alat
alat bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan materilnya secara mencukupi. Bersama
cdengan pemikir-pemikir pencerahan abad kedelapan belas, Comte mengambil model
kemajuan linear (garis bujur) ini yang menuju ke satu tujuan akhir.
Untuk mempertentangkan model Comte
mengenai kemajuan linear, lain halnya dcengan model perubahan sosio-budaya yang
diberikan oleh Sorokin, seorang ahli Sosiologi profetis abad kedua puluh.
Pandangan Sorokin mengenai hakikat kenyataan sosial (gambaran dasar mengenai
pokok persoalan Sosiologi) sangat erat hubungannya dengan Comte. Keduanya
memusatkan perhatiannya pada tingkat analisa budaya, dan keduanya menekankan
sangat pentingnya gaya intelektual, cara memandang dunia atau bentuk-bentuk
pengenalan pola-pola organisasi sosial serta perilaku manusia.
Kalau Comte mengusulkan suatu model
linera yang berkulminasi pada munculnya masyarakat positivis, Sorokin
mengembangkan model siklus perubahan sosial. Artinya, dia yakin bahwa
tahap-tahap sejarah cenderung berulang dalam kaitannya dengan menttalitas
budaya yang dominan, tanpa membayangkan suatu tahap akhir yang final. Tetapi
silus-siklus ini tidak sekedar pelipatgandaan saja, sebaliknya ada banyak
variasi dalam bentuk-bentuknya yang khusus, dimana tema-tema budaya yang luas
dinyatakan.
4. Kebudayaan Materil
dan Non Materil
Baik dalam tahap-tahap perkembangan
intelektual Comte maupun tipe-tipe mentalitas budaya Sorokin, dunia ide-ide,
cara berpikir, atau cara memandang dunia, dilihat sebagai kunci utama untuk
memahami struktur sosial dan perilaku individu. Aspek materialistis dari
kebudayaan secara implisit ada dalam teori Comte dan Sorokin. Pandangan Comte
mengenai transisi dari masyarakat militer ke industry sudah jelas mengandung
implikasi perubahan dalam kebudayaan materil. Terutama munculnya industrialisme
tergantung pada kemajuan teknologi dan kemajuan dalam teknologi mencerminkan
perubahan dalam kebudayaan materil. Sorokin juga menyinggung kemajuan teknologi
dan melimpahnya materi secara meningkat yang mungkin dihasilkannya. Dia melihat
perkembangan ini sebagai suatu manifestasi mentalitas inderawi. Tetapi Sorokin
umumnya memandang kebudayaan materil sebagai wahana perwujudan mentalitas
budaya Non materil. Ini berarti bahwa analisa tentang kebudayaan materil bahwa
berkisar pada arti-arti budaya yang disimbolkan atau diwujudkan dalam
bentuk-bentuk materil. Pendekatan ini cocok untuk memahami karya-karya seni dan
arsitektur. Tetapi disamping kenyataan bahwa kebudayaan materil tidak
disangkal, Comte dan Sorokin jelas melihatnya sebagai sesuatu yang bergantung
pada kebudayaan non materil.
B. Teori Sosial Karl
Marx : Struktur Ekonomi, Pertentangan Kelas dan Perubahan Sosial
1.
Riwayat Hidup Marx
Marx lahir di Trier, Jerman, di
daerah Rhine pada tahun 1818. Ayahnya Heinrich dan Ibunya Henrietta berasal
dari keluarga Rabbi Yahudi. Pada usia delapan belas tahun, setelah mempelajari
hukum selama setahun di Universitas Bonn, Marx pindah ke Universitas Berlin. Di
sana, sebagai akibat dari hubungannya dengan kelompok Hegelian Muda beberapa
unsur dasar teori sosialnya mulai di bentuk. Meskipun Hegel sudah mati waktu
Marx masuk Universitas Berlin, semangat dan filsafatnya masih menguasai
pemikiran filosofis dan sosial di sana.
Karir Marx, tidak dapat dipisahkan dari perkembangan
gerakan sosialis dipertengahan abad ke Sembilan belas. Seperti Comte, dia
adalah seeorang marginal tetapi dengan alas an yang berlainan. Status marginal
Comte berrasal dari berbagai sifat keanehan pribadinya, sifat marginal Marx
berhubungan dengan banyak keterlibatannya dalam hal-hal radikal. Mungkin antara
lain karena sifat marginalnya ini, Marx merupakan seorang Katalisator untuk
tiga orientasi intelektual yang berbeda. Sumbangan Teoritisnya banyak diambil
dari (1) metode dialektik Hegel dan historisme Jerman (2) dari teori politik
Inggris (3) dari pemikiran sosialis Prancis. Tetapi semua ketiga orientasi ini
sangat berubah dalam karya Marx, dan ide-ide sentral Marx, meskipun berulang
kali dinyatakan dalam perjalanan hidupnya, memperlihatkan suatu sumbangan
kreatif yang penting terhadapa perkembangan sosiologi modern.
2. Materialisme
Historis Marx
Materialisme Historis sangat brguna
untuk memberinya nama pada asumsi-asumsi dasar mengenai teorinya, dan
memberinya suatu pemahaman yang tepat. Dari The Communist dan Das Kapital,
secara tradissional sudah diasumsikan bahwa tekanan utama Marx adalah pada
kebutuhan materil dan perjuangan kelas sebagai akibat dari usaha-usaha memenuhi
kebutuhan-kebutuhan ini. Dalam pandangan ini, ide-ide dan kesadaran manusia
tidak lain daripada refleksi yang salah tentang kondisi-kondisi materil.
Tambahan pula, perhatian dipusatkan pada usaha Marx untuk meningkatkan suatu
revolusi sosialis sedemikian sehingga kaum proletariat dapat menikmati sebagian
besar kelimpahan materil yang dihasilkan oleh industrialisme.
3. Infrastruktur
Ekonomi dan Superstruktur Sosio-Budaya
Tekanan yang terus menerus
dikemukakan dalam semua tulisan Marx adalah bahwa struktur ekonomi masyarakat
yaitu alat-alat produksi dan hubungan-hubungan sosial dalam produksi merupakan
dasar yang sebenarnya. Semua institusi sosial lainnya didirikan atas dasar ini
dan menyesuaiakan diri kurang lebih dengan tuntutan dan persyaratan yang
terdapat dalam struktur ekonomi itu.
Kalau Marx berulang-ulang menekankan
ketergantungan politik pada struktur ekonomi ini, tipe analisa yang sama juga
akan berlaku untuk pendidikan, agama, keluarga dan semua institusi lainnya.
Sama halnya dengan kebudayaan suatu masyarakat, termasuk standar-standar
moralitasnya, kepercayaan-kepercayaan agama, system-sistem filsafat, ideology
politik dan pola-pola sei serta kreativitas sastra, juga mencerminkan
pengalaman hidup yan riil dari orang-orang dalam hubungan ekonomi-ekonomi
mereka.
4. Kegiatan dan
Alienasi
Inti seluruh teori Marx adalah
proposisis bahwa kelangsungan hidup manusia serta pemenuhan kebutuhannya
bergantung pada kegiatan produktif dimana secara aktif orang terlibat dalam
mengubah lingkungan alamnya. Namun, kegiatan produktif itu, mempunyai akibat
yang paradox dan ironis, karena begitu individu mencurahkan tenaga kretifnya
itu dalam kegiatan produktuf, maka produk-produk dari kegiatan ini memiliki
sifat sebagai benda obyektif yang terlepas dari manusia yang membuatnya. Karena
kegiatan produktif meliputi penggunaan tenaga manusia dan kemampuan kretifnya,
maka produk-produk yang diciptakan itu sebenarnya mewujudkan sebagian dari
“hakikat manusia” itu. Jadi, manusia mengkonfrontasikan hakikatnya sendiri
dalam bentuk yang sudah terasing atau diasingkan, atau sebagai benda dalam
dunia luar yang berada di luar jangkauan pengontrolan mereka, dan malah manusia
haru menyesuaikan diri dengannya. Sesudah itu, kebebasan individu untuk terus
menuangkan kretivitasnya dan mengembangkan kemampuannyasebagai manusia, sangat
dibatasi.
5. Kritik Terhadap Marx
Kritik Marx terhadap masyarakat
kapitalis dan ramalannya mengenai pekembangan masa depannya menjadi sasaran
banyak kritik. Salah satu kritik yang tidak asing lagi adalah reaksi terhadapa
Marxisme sebagai satu ideology politik, bukan sebagai suatu teori Sosiologi
atau teori Ekonomi yang obyektif. Namun penggunaan pespektif Marxis sebagai
suatu ideology politik dalam negara-negara komunis di abad ke duapuluh
merupakan penyimpangan dan terlampau menyederhanakan teori Marx.
C. Emile Durkheim :
Mendirikan Sosiologi Sebagai Satu Ilmu tentang Integrasi Sosial
1.
Riwayat Hidup Durkheim
Emile Durkheimlahir tahun 1858 di
Epinal, suatu perkampungan kecil orang Yahudi di bagian Timur Prancis yang agak
terpencil dari masyarakat luas. Ayah Durkheim adalah seorang Rabi. Pada usia 21
tahun, Durkheim diterima di Ecole Normale Superieure. Dua kali sebelumnya dia
gagal dalam ujian masuk yang sangat kompetitif, walaupun sebelumnya dia sangat
cemerlang dalam studinya. Dia satang ke Paris untuk bias masuk ke sekolah Lycee
Louis-Le-Grand, setelah memperoleh dukungan yang kuat dan dorongan dari
guru-guru di Epinal.
2. Kenyataan Fakta
Sosial
Asumsi paling fundamental yang
mendasari pendekatan Durkheim terhadap sosiologi adalah bahwa gejala sosial itu
riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari
karakteristik psikolgis, biologis atau karakteristik individu lain-lainnya.
Lebih lagi, karena gejala sosial merupakan fakta yang riil, gejala-gejala itu
dapat dipelajari dengan metode-metode empiric, yang memungkinkan satu ilmu
sejati tentang masyarakat dapat dikembangkan. Kedua asumsi ini, kenyataan
gejala sosial dan pandangan tentang sosiologi sebagai satu ilmu kelihatan jelas
di saat sekarang, khususnya bagi mahasiswa dengan kemampuan yang minimal
sekalipun dalam perspektif sosiologi. Namun, ingat bahwa pada masa Durkheim,
tidak ada bidang atau metodologi dalam sosiologi yang mantap.
Tekanan Durkheim pada kenyataan
gejala sosial yang obyektif itu, bertentangan tidak hanya dengan individualism
yang berlebih-lebihan tetapi juga dengan para ahli teori yang pendekatannya
terlampau spekulatif dan filosofis. Di masa lampau, spekulasi filosofis sudah
merupakan bentuk pemikiran yang utama tentang perilaku manusia dan tentang
masyarakat.
Fakta sosial memiliki empat
karakteristik, yaitu :
1.
Sesuatu yang berwujud di luar individu
2.
Melakukan hambatan atau membuat kendala terhadap individu
3.
Bersifat luas atau umum
4.
Bebas dari manifestasi, atau melampaui menifestasi Individu
3. Solidaritas dan Tipe Struktur Sosial
Dari semua fakta sosial yang
ditunjuk dan didiskusikan oleh Durkheim, tak satupun yang sedemikian sentralnya
seperti konsep solidaritas sosial. Dalam lain bentuk, solidaritas sosial
membawahi semua karya utamanya. Istilah-istilah yang berhubungan erta dengan
itu, misalnya integrasi sosial dan kekompakan sosial. Singkatnya, solidaritas
menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu atau kelompok yang
didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama diperkuat
oleh pengalaman emosional bersama. Ikatan ini lebih mendasar daripada hubungan
kontraktual yang dibuat atas dasar persetujuan rasional, karena
hubungan-hubungan serupa ini mengandaikan sekurang-kurangnya satu tungkat /
derajat konsesus terhadap prinsip-prinsip moral yang menjadi dasar kontarak
itu.
Durkheim menghubungkan jenis
solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu system hukum.
Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hukum
seringkali bersifat Represif : pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang
akan terkena hukuman dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang
dilanggar oleh kejahatan itu dan hukuman bertindak lebih untuk mempertahankan
keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas
organic, hukum bersifat Restitutif :
bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal
dari suatu masyarakat yang kompleks. Jadi,perubahan masyarakat yang cepat
karena semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan
tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan
sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma sosial yang mengatur
perilaku.
4. Ancaman Terhadap
Solidaritas
Membahas mengenai Emile Durkheim
yang membahas mengenai fenomena bunuh diri. Bila di lihat sepintas, fenomena
ini dapat disebabkan kondisi psikologi suatu individu, yang dapat terjadi
beberapa tipe, seperti bunuh diri Egoistik, bunuh diri Anomik, bunuh diri Altruistik,
dan bunuh diri Fatalistik.
D.
Max Weber dan Masalah Rasionalitas
1.
Riwayat Hidup Weber
Max Weber lahir di Erfurt, Thuringia
tahun 1864, tetapi di besarkan di Berlin. Keluarganya pindah ketika dia berumur
5 tahun. Keluarganya adalah orang Protestan kelas Menengah atas, sangat
termakan oleh Kebudayaan Borjuis.
2. Tipe-Tipe Tindakan
Sosial
a. Rasionalitas Instrumental (Zweckrationalitat)
Weber
menjelaskan : tindakan diarahkan seecara rasional ke suatu system dari
tujuan-tujuan individu yang memiliki sifat-sifatnya sendiri (zweckrational) apabila
tujuan itu, alat dan akibat-akibat sekundernya diperhitungkan dan
dipertimbangkan semuanya secara rasional. Hal ini mencakup pertimbangan
rasional atas alat alternative untuk mencapai tujuan itu dengan hhasil-hasil
yang mungkin dari penggunaan alat tertentu apa saja, dan akhirnya pertimbangan
mengenai pentingnya tujuan-tujuan yang mungkin berbeda secara relative.
b. Rasionalitas yang Berorientasi Nilai
sifat
rasionalitas yang berorientasi nilai yang penting adalah bahwa alat-alat hanya
merrupakan obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar, tujuan-tujuannya
sidah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolute
atau merupakan nilai akhir baginya. Nilai-nilai akhir bersifat nonrasional
dalam hal dimana seseorang tidak dapat memperhitungkan seccara obyektif
mengenai tujuan-tujuan mana yang haurus di pilih.
c. Tindakan Tradisional
Tindakan
Tradisional merupakan tipe tindakan sosial yang bersifat nonrasional. Jika
seorang individu memperlihatkan perilaku kerena kebiasaan, tanpa refleksiyang
sadar atau perencanaan, perilaku seperti ini digolongkan sebagai tindakan
tradisional.
d. Tindakan Afektif
Tipe
tindakan ini ditandai oleh dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi
intelektual atau perencanaan yang sadar. Seseorang yang sedang mengalami
perasaan meluap-luap seperti cinta, kemarahan, ketakutan, atau kegembiraan, dan
secara spontan mengungkapkan perasaan itu tanpa refleksi, berarti sedang
memperlihatkan tindakan afektif.
Sakit Mba. warna text nya merah T.T
BalasHapusYa Allah mba sakit mata bacanya sadis amat
BalasHapus